Support the Haiti Disaster Relief Effort


loading,sabar menanti,kacian d lu...

Senin, 11 Januari 2010

Avatar (2009)


James Cameron memang orang gila yang suka bikin sensasi dengan budget film-filmnya. Di tahun 1991, dia adalah orang pertama yang membuat film berbudget 100 Juta USD lewat Terminator 2: Judgement Day. Di tahun 1997 lagi-lagi orang dibuat dia terperangah dengan membuat film berbudget 200 Juta USD lewat Titanic. Setelah Titanic memecahkan semua rekor box office dan masih berdiri sebagai film terlaris sepanjang masa hingga kini (12 tahun setelah filmnya dirilis), Cameron turut vakum lama dari dunia perfilman, padahal sebenarnya ketika Titanic sukses, rumor mengenai Avatar sudah mencuat sebelum kemudian proyek ini ditangguhkan oleh Cameron sendiri yang merasa bahwa teknologi saat itu belum cukup untuk menghidupkan visinya.
Tahun demi tahun berlalu, Cameron mencermati perkembangan teknologi dunia film yang menghasilkan Gollum melalui trilogi Lord of the Rings, King Kong, sampai Davy Jones di Pirates of the Caribbean. Di samping itu, ia sendiri juga aktif menciptakan sebuah teknologi kamera 3D. Ketika film ini mulai aktif digarap lagi, rumor terus bermunculan mengenai kapan ia akan dirilis. Tadinya hendak dirilis di tahun 2007, film ini dimundurkan rilisnya ke 2008, dan akhirnya Mei 2009. Seakan ingin mengulang keberuntungannya dengan Titanic (yang jadwal rilisnya juga dipindah dari Summer 1997 ke Winter 1997), Avatar lagi-lagi dipindahkan jadwalnya menjadi Desember 2009.
Trailer-trailer pendek sampai pertunjukan spesial Avatar (sepanjang 16 menit) terus mendapat pergunjingan orang. Beberapa menilainya secara positif, beberapa khawatir Cameron cuma bakalan main efek saja di film ini. Toh ketika film ini ditonton para kritikus, tanggapan mereka hampir seiya sekata. Avatar adalah film yang harus kalian tonton dan kalian alami sendiri. Dan itu jugalah alasan kenapa pada pagi ini saya langsung meluncur ke kota Jogjakarta demi menontonnya. Apakah Avatar berhasil memukau saya dengan budget sampai 300 Juta USD yang dikucurkan demi membuatnya?
Di tahun 2154, kita sudah tahu bahwa kita tidak lagi sendiri. Sebuah perusahaan bahkan sudah menemukan sebuah mineral yang sangat berharga di sebuah planet nun jauh di sana bernama Pandora. Di sana, kedatangan manusia tidak langsung disambut baik oleh penduduk setempat bernama Na’vi. Manusia ingin mengambil mineral melimpah yang celakanya tertimbun tepat di bawah tempat pemukiman para suku Na’vi. Dalam organisasi manusia sendiri terdapat dua sisi pendekatan terhadap para Na’vi. Para militan di bawah pimpinan Kolonel Quatrich ingin mengambil cara yang paling cepat dan efektif dengan mengganyang para Na’vi memakai senjata mereka. Sebaliknya, para ilmuwan di bawah pimpinan Dr. Grace Augustine berusaha melakukan pendekatan sosial dengan mengajarkan mereka bahasa Inggris bahkan menciptakan sebuah sistem bernama Avatar.
Avatar adalah sosok makhluk campuran dari DNA manusia dan DNA Na’vi yang bisa dipakai oleh manusia yang memiliki gen sama. Sebuah pengendali Avatar bernama Tony meninggal setelah dirampok orang sehingga saudara kembarnya Jake Sully-lah yang mengambil tanggung jawab untuk ke planet Pandora menjadi pengendali Avatar. Bedanya dengan yang lain, Jake Sully adalah mantan marinir yang kedua kakinya lumpuh karena perang. Sadar bahwa Jake memiliki latar belakang militer yang sama dengannya, Kolonel Quatrich meminta Jake untuk tidak sekedar menjalin persahabatan dengan para Na’vi, tetapi juga menjadi mata-mata yang memberi mereka informasi mengenai kelemahan para Na’vi. Seiring dengan berlalunya waktu, Jake pun makin jatuh cinta kepada dunia Pandora dan suku Na’vi. Siapa yang harus ia dukung ketika perang antara keduanya tak bisa terelakkan?
Kalau kalian merasa bahwa cerita ini familiar, jangan heran. Bila disuruh meringkas Avatar, saya akan mengatakan bahwa ini adalah Dance with the Wolves atau The Last Samurai atau Pocahontas yang tidak lagi bersetting di dunia ini tetapi di luar angkasa sana. Kesamaannya sungguh kentara. Seorang yang berasal dari pihak yang menginvasi kemudian merasakan hidup bersama dengan pihak yang diinvasi dan akhirnya berubah menjadi sang pemimpin untuk memberontak balik. Kita semua tahu kisah klise itu, tetapi di tangan Cameron semua masih bisa terasa cukup orisinil untuk ditonton lagi. Cameron juga masih seorang sutradara yang piawai mengatur tempo film. Di awal film kita diajak untuk berkenalan melihat dunia Pandora. Temponya dirasa oleh banyak orang (bahkan oleh teman yang bersamaku nonton) lambat, tetapi Cameron sebenarnya tengah menyisipkan begitu banyak detail dunia Pandora di dalamnya. Dan ketika peradaban itu mendapatkan serangan di pertengahan film, penonton pun ikut terharu karena merasa bahwa Pandora sudah merupakan dunia yang mereka kenal. Itulah bedanya Cameron dengan Michael Bay atau Roland Emmerich. Ia memberi kita sebuah alasan untuk peduli pada karakter dan dunia di dalamnya, bukan sekedar meledakkan atau menghancurkan segala sesuatu di layar saja.
Tapi sebagus apapun cerita dalam Avatar, ia akan masuk ke dalam buku sejarah sebagai film dengan teknologi terdahsyat saat ini. Saya menonton banyak film dan bisa dengan mudah membedakan mana yang karakter yang CG dan mana yang bukan. Avatar adalah kasus yang berbeda. Melihat para Na’vi di berjalan di tengah manusia, melihat kedipan mata mereka, melihat kulit biru dan gerakan mereka. Semuanya membuat saya kesulitan membedakan mana yang CG dan mana yang bukan. Na’vi bukan satu-satunya yang mencuri perhatian saya tetapi dunia Pandora sendiri secara keseluruhan. Seperti yang saya katakan di paragraf di atas, perhatian Cameron terhadap detail-detail kecil dunianya luar biasa. Mulai dari habitat tanamannya (perhatikan bagaimana tanaman tertentu bisa menyala ketika diinjak), air terjun, pohon raksasa, hingga pulau yang terapung di angkasa. Seakan melihat animasi film Ghibli Laputa: Castle in the Sky, hanya kali ini versi live-actionnya. Di kubu manusia dan mesin-mesinnya sendiri ada beberapa yang mengingatkanku pada film lama Cameron, terutama robot yang dipakai Ripley bertarung dalam Aliens. Design ini membuat para penonton bersama dengan Jake mengenal dan mencintai dunia Pandora di dalamnya.
James Cameron juga tidak kembali sendiri - tetapi membawa tim sukses bersamanya. Ada artis Sigourney Weaver yang memerankan Dr Grace, kedua kalinya mereka bekerja sama setelah Aliens. Selain itu James Horner yang dulu membuat musik Titanic dipasrahi menggarap musik film ini. Selain OSTnya, ada lagu I See You yang dinyanyikan oleh Leona Lewis. Walau saya ragu lagu ini bakalan setenar My Heart Will Go On-nya Celine Dion, saya rasa I See You adalah lagu yang tepat untuk merepresentasikan film ini. Sam Worthington yang menjadi Jake Sully sendiri mencuri perhatian saya dalam perannya di Terminator Salvation - dan dalam film ini ia sekali lagi menunjukkan kemampuan aktingnya. Bila bisa terus mendapatkan peran pada film-film Box Office seperti ini, karir aktor Australia ini rasanya bisa mulus-mulus saja di Hollywood.
Satu-satunya kelemahan yang bisa saya dapat dari Avatar (dan itupun setelah membaca review lain) adalah tudingan yang mengatakan bahwa beberapa karakter di kelompok Na’vi terasa terlalu standar. Sebagaimana kebanyakan film serupa, ada sang pemimpin suku dan istri berikut putrinya, ditambah seorang ksatria suku lain yang kemudian menjadi rival sang jagoan utama. Toh lepas dari kekurangan minor itu, Avatar adalah salah satu film terbaik tahun ini. Silahkan bilang kalau 2012 di mana Emmerich menghancurkan segalanya itu seru, tetapi semua orang tahu bahwa membangun jauh lebih sukar ketimbang menghancurkan sesuatu. Dan itulah yang dilakukan James Cameron melalui Avatar. Ia membangun sebuah dunia. Sebuah dunia bernama Pandora. Welcome to the world.
Note: Walau dilansir resmi bahwa budgetnya ‘hanya’ 237 Juta USD, banyak pihak menyatakan bahwa budget Avatar mencapai 300 Juta USD. Beberapa bahkan berani mengasumsikan kalau budgetnya sampai menembus setengah milyar USD!

Avatar (2009)


James Cameron memang orang gila yang suka bikin sensasi dengan budget film-filmnya. Di tahun 1991, dia adalah orang pertama yang membuat film berbudget 100 Juta USD lewat Terminator 2: Judgement Day. Di tahun 1997 lagi-lagi orang dibuat dia terperangah dengan membuat film berbudget 200 Juta USD lewat Titanic. Setelah Titanic memecahkan semua rekor box office dan masih berdiri sebagai film terlaris sepanjang masa hingga kini (12 tahun setelah filmnya dirilis), Cameron turut vakum lama dari dunia perfilman, padahal sebenarnya ketika Titanic sukses, rumor mengenai Avatar sudah mencuat sebelum kemudian proyek ini ditangguhkan oleh Cameron sendiri yang merasa bahwa teknologi saat itu belum cukup untuk menghidupkan visinya.
Tahun demi tahun berlalu, Cameron mencermati perkembangan teknologi dunia film yang menghasilkan Gollum melalui trilogi Lord of the Rings, King Kong, sampai Davy Jones di Pirates of the Caribbean. Di samping itu, ia sendiri juga aktif menciptakan sebuah teknologi kamera 3D. Ketika film ini mulai aktif digarap lagi, rumor terus bermunculan mengenai kapan ia akan dirilis. Tadinya hendak dirilis di tahun 2007, film ini dimundurkan rilisnya ke 2008, dan akhirnya Mei 2009. Seakan ingin mengulang keberuntungannya dengan Titanic (yang jadwal rilisnya juga dipindah dari Summer 1997 ke Winter 1997), Avatar lagi-lagi dipindahkan jadwalnya menjadi Desember 2009.
Trailer-trailer pendek sampai pertunjukan spesial Avatar (sepanjang 16 menit) terus mendapat pergunjingan orang. Beberapa menilainya secara positif, beberapa khawatir Cameron cuma bakalan main efek saja di film ini. Toh ketika film ini ditonton para kritikus, tanggapan mereka hampir seiya sekata. Avatar adalah film yang harus kalian tonton dan kalian alami sendiri. Dan itu jugalah alasan kenapa pada pagi ini saya langsung meluncur ke kota Jogjakarta demi menontonnya. Apakah Avatar berhasil memukau saya dengan budget sampai 300 Juta USD yang dikucurkan demi membuatnya?
Di tahun 2154, kita sudah tahu bahwa kita tidak lagi sendiri. Sebuah perusahaan bahkan sudah menemukan sebuah mineral yang sangat berharga di sebuah planet nun jauh di sana bernama Pandora. Di sana, kedatangan manusia tidak langsung disambut baik oleh penduduk setempat bernama Na’vi. Manusia ingin mengambil mineral melimpah yang celakanya tertimbun tepat di bawah tempat pemukiman para suku Na’vi. Dalam organisasi manusia sendiri terdapat dua sisi pendekatan terhadap para Na’vi. Para militan di bawah pimpinan Kolonel Quatrich ingin mengambil cara yang paling cepat dan efektif dengan mengganyang para Na’vi memakai senjata mereka. Sebaliknya, para ilmuwan di bawah pimpinan Dr. Grace Augustine berusaha melakukan pendekatan sosial dengan mengajarkan mereka bahasa Inggris bahkan menciptakan sebuah sistem bernama Avatar.
Avatar adalah sosok makhluk campuran dari DNA manusia dan DNA Na’vi yang bisa dipakai oleh manusia yang memiliki gen sama. Sebuah pengendali Avatar bernama Tony meninggal setelah dirampok orang sehingga saudara kembarnya Jake Sully-lah yang mengambil tanggung jawab untuk ke planet Pandora menjadi pengendali Avatar. Bedanya dengan yang lain, Jake Sully adalah mantan marinir yang kedua kakinya lumpuh karena perang. Sadar bahwa Jake memiliki latar belakang militer yang sama dengannya, Kolonel Quatrich meminta Jake untuk tidak sekedar menjalin persahabatan dengan para Na’vi, tetapi juga menjadi mata-mata yang memberi mereka informasi mengenai kelemahan para Na’vi. Seiring dengan berlalunya waktu, Jake pun makin jatuh cinta kepada dunia Pandora dan suku Na’vi. Siapa yang harus ia dukung ketika perang antara keduanya tak bisa terelakkan?
Kalau kalian merasa bahwa cerita ini familiar, jangan heran. Bila disuruh meringkas Avatar, saya akan mengatakan bahwa ini adalah Dance with the Wolves atau The Last Samurai atau Pocahontas yang tidak lagi bersetting di dunia ini tetapi di luar angkasa sana. Kesamaannya sungguh kentara. Seorang yang berasal dari pihak yang menginvasi kemudian merasakan hidup bersama dengan pihak yang diinvasi dan akhirnya berubah menjadi sang pemimpin untuk memberontak balik. Kita semua tahu kisah klise itu, tetapi di tangan Cameron semua masih bisa terasa cukup orisinil untuk ditonton lagi. Cameron juga masih seorang sutradara yang piawai mengatur tempo film. Di awal film kita diajak untuk berkenalan melihat dunia Pandora. Temponya dirasa oleh banyak orang (bahkan oleh teman yang bersamaku nonton) lambat, tetapi Cameron sebenarnya tengah menyisipkan begitu banyak detail dunia Pandora di dalamnya. Dan ketika peradaban itu mendapatkan serangan di pertengahan film, penonton pun ikut terharu karena merasa bahwa Pandora sudah merupakan dunia yang mereka kenal. Itulah bedanya Cameron dengan Michael Bay atau Roland Emmerich. Ia memberi kita sebuah alasan untuk peduli pada karakter dan dunia di dalamnya, bukan sekedar meledakkan atau menghancurkan segala sesuatu di layar saja.
Tapi sebagus apapun cerita dalam Avatar, ia akan masuk ke dalam buku sejarah sebagai film dengan teknologi terdahsyat saat ini. Saya menonton banyak film dan bisa dengan mudah membedakan mana yang karakter yang CG dan mana yang bukan. Avatar adalah kasus yang berbeda. Melihat para Na’vi di berjalan di tengah manusia, melihat kedipan mata mereka, melihat kulit biru dan gerakan mereka. Semuanya membuat saya kesulitan membedakan mana yang CG dan mana yang bukan. Na’vi bukan satu-satunya yang mencuri perhatian saya tetapi dunia Pandora sendiri secara keseluruhan. Seperti yang saya katakan di paragraf di atas, perhatian Cameron terhadap detail-detail kecil dunianya luar biasa. Mulai dari habitat tanamannya (perhatikan bagaimana tanaman tertentu bisa menyala ketika diinjak), air terjun, pohon raksasa, hingga pulau yang terapung di angkasa. Seakan melihat animasi film Ghibli Laputa: Castle in the Sky, hanya kali ini versi live-actionnya. Di kubu manusia dan mesin-mesinnya sendiri ada beberapa yang mengingatkanku pada film lama Cameron, terutama robot yang dipakai Ripley bertarung dalam Aliens. Design ini membuat para penonton bersama dengan Jake mengenal dan mencintai dunia Pandora di dalamnya.
James Cameron juga tidak kembali sendiri - tetapi membawa tim sukses bersamanya. Ada artis Sigourney Weaver yang memerankan Dr Grace, kedua kalinya mereka bekerja sama setelah Aliens. Selain itu James Horner yang dulu membuat musik Titanic dipasrahi menggarap musik film ini. Selain OSTnya, ada lagu I See You yang dinyanyikan oleh Leona Lewis. Walau saya ragu lagu ini bakalan setenar My Heart Will Go On-nya Celine Dion, saya rasa I See You adalah lagu yang tepat untuk merepresentasikan film ini. Sam Worthington yang menjadi Jake Sully sendiri mencuri perhatian saya dalam perannya di Terminator Salvation - dan dalam film ini ia sekali lagi menunjukkan kemampuan aktingnya. Bila bisa terus mendapatkan peran pada film-film Box Office seperti ini, karir aktor Australia ini rasanya bisa mulus-mulus saja di Hollywood.
Satu-satunya kelemahan yang bisa saya dapat dari Avatar (dan itupun setelah membaca review lain) adalah tudingan yang mengatakan bahwa beberapa karakter di kelompok Na’vi terasa terlalu standar. Sebagaimana kebanyakan film serupa, ada sang pemimpin suku dan istri berikut putrinya, ditambah seorang ksatria suku lain yang kemudian menjadi rival sang jagoan utama. Toh lepas dari kekurangan minor itu, Avatar adalah salah satu film terbaik tahun ini. Silahkan bilang kalau 2012 di mana Emmerich menghancurkan segalanya itu seru, tetapi semua orang tahu bahwa membangun jauh lebih sukar ketimbang menghancurkan sesuatu. Dan itulah yang dilakukan James Cameron melalui Avatar. Ia membangun sebuah dunia. Sebuah dunia bernama Pandora. Welcome to the world.
Note: Walau dilansir resmi bahwa budgetnya ‘hanya’ 237 Juta USD, banyak pihak menyatakan bahwa budget Avatar mencapai 300 Juta USD. Beberapa bahkan berani mengasumsikan kalau budgetnya sampai menembus setengah milyar USD!

0 komentar anda:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates